Mendaki Gunung?

Apa yang terlintas bagi kalian, jika mendaki gunung?

Mungkin, keindahan alam? Kisah horror yang menakutkan? Hal yang melelahkan? Atau apa lagi?

Kalo aku, pertama kali diajak untuk mendaki gunung, yang terlintas dibenakku, sanggup gak ya? Hahaha. Jujur, ini adalah pengalaman pertamaku untuk mendaki gunung. Aku memang pecinta wisata alam, namun mendaki gunung-lah yang belum pernah aku jelajahi. Kenapa? Yah, karena dulu sempat berpikir, takut gak sanggup, takut malah merepotkan teman, dan banyak hal lain.

Padahal, mendaki gunung merupakan hal yang aku idamkan sejak aku masih duduk di bangku SMA. Teman-temanku sering mendaki gunung, saat momen-momen seperti 17 Agustus-an, tahun baru, dll. Namun, pada saat sekolah pun aku terkendala izin orang tua yang selalu mengkhawatirkan kesehatan anaknya untuk mendaki gunung.

Pendakian Gunung Pertama

Pada bulan Agustus 2018, seorang teman mengajak untuk mendaki salah satu gunung yang ada di Jawa Barat. Yaitu, Gunung Papandayan. Awalnya, ada sedikit keraguan untuk pergi. Karena, ini akan menjadi pengalaman pertamaku menjelajahi Gunung. Setelah beberapa hari aku mempertimbangkan ajakan temanku. Akhirya, seminggu sebelum nanjak, aku pun mengambil keputusan untuk pergi. Bolehlah, dapat pengalaman baru, untuk menjelajahi gunung, kapan lagi coba? Pikirku.

Aku masih ingat, hari selasa langsung di order sleeping bag dan matras oleh temanku. Rabu malam, aku order sepatu gunung. Haha, karena ini pengalaman pertamaku naik gunung, dan aku tak punya perlengkapan sama sekali, jadi dalam waktu beberapa hari menjelang keberangkatan, aku mempersiapkan semua. Sangat disayangkan, sepatu gunung yang aku order, datangnya tidak tepat waktu. -_-

Sekilas mengenai Gunung Papandayan merupakan salah satu gunung yang berada di Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan ketinggian 2665 mdpl dan medan yang ditempuh pun lumayan landai, jadi gunung ini sangat cocok bagi kalian yang masih pemula untuk mencoba mendaki gunung.

Nah, bagaimana kisah pendakian pertama untuk newbie seperti aku?

Perjalanan mendaki ini, terdiri dari 6 orang. 4 cowok yaitu Endo, Irhas, Dian dan Asep. 2 cewek yaitu aku dan Windi. 4 orang diantaranya berangkat dari Jakarta, mepo di Terminal Kampung Rambutan yaitu aku, Endo, Windi dan Irhas. Dan 2 orang lagi, Dian dan Asep berangkat dari Cianjur. Dalam perjalanan ini, aku tak mengenal sama sekali mereka selain Endo. Dan disini, aku merasa mendapatkan kenalan baru. Mereka pun orangnya ramah dan juga baik, berasa bukan baru kenal.

Rombongan dari Jakarta, berangkat menuju Garut sekitar pukul 22.00 WIB. Untuk berangkat dari Kampung Rambutan menuju Garut mengeluarkan biaya sebesar 65rb/orang. Selama perjalanan aku sempat tertidur, namun beberapa kali terbangun dikarenakan bis yang ngerem mendadak. Hingga pada akhirnya kita sampai di Terminal Guntur sekitar pukul 02.30 dini hari.

Sesampai disana, kita tidak langsung menuju ke Papandayan. Karena, kita harus menunggu angkutan umum yang ada sekitar pukul 06.00 WIB. Dan juga, karena kita belum mempersiapkan logistik untuk selama di gunung, jadi, kita memilih untuk membeli bahan logistik di pasar tradisional samping Terminal Guntur. Pasar ini sudah cukup ramai oleh pedagang dan pembeli menjelang waktu subuh. Aku bersama Windi dan Irhas pergi untuk membeli bahan logistik, sedangkan Endo tetap stay di deket warung depan Terminal Guntur, untuk menjaga barang seperti carrier dan lainnya.

Waktu itu, kita membeli bahan seperti tahu, touge, beras, bawang goreng, otak-otak, sosis, lumpia, telur, cireng, bumbu penyedap dan lada bubuk. Serta air mineral ukuran 1,5 liter, kopi, energen dan saus. Ada hal yang sangat penting untuk logistik ini, dan kita lupa untuk membelinya, yaitu garam. Hahaha. Bayangkan kita masak tanpa garam. Hanya bermodalkan penyedap rasa dan lada bumbu. Maafkeun :D.

Oia, kita juga punya tips membawa telur untuk momen mendaki ini. Aku juga gak tau, apa pendaki-pendaki sebelumnya juga pernah melakukan hal ini, bagiku ini unik. Karena, untuk mengatasi kekhawatirkan telur pecah selama perjalanan, muncul ide Windi untuk memasukan telur yang sudah dipecahkan kedalam botol. Yapt, hasilnya seperti jus mangga karena sudah teraduk-aduk dalam perjalanan.

Saat pagi menjelang, di depan Terminal Guntur mulai diramaikan dengan angkutan umum yang dapat membawamu ke kaki Gunung Papandayan. Fyi, Guys! Dari Terminal Guntur, kita naik angkot terlebih dahulu menuju ke Desa Cisurupan dengan ongkos 20rb/orang. Lalu dari Desa Cisurupan  menuju kaki Gunung Papandayan, kita dipindahkan ke mobil pick up dengan biaya 25rb/orang. Selama diperjalanan, aku sangat menikmati pemandangan sekitar, barisan rumah penduduk di kaki gunung, membuat aku rindu akan kampong halamanku.

Yeah, aku tinggal di bawah kaki gunung Merapi, ada yang bilang, anak gunung yang tak pernah naik gunung, itulah aku, hoho. Dan ini pertama kali naik gunung, itupun bukan gunung di wilayah sendiri, tapi gunung yang ada di tanah jawa, tanah perantauanku :D.

Tak lama, sekitar pukul 8 pagi, kita sampai di gerbang pintu masuk Gunung Papandayan, disana kita bertemu dengan Asep dan Dian yang sudah nyampe sejak pukul 8 malam hari sebelumnya, dan mereka nginap di tempat peristirahatan di depan gerbang pintu masuk wisata alam Gunung Papandayan.

Kita mendaki dengan menggunakan jalur Cisurupan. Diantara kami yang mau mendaki, hanya Asep dan Irhas yang berpengalaman untuk mendaki gunung, sedangkan aku, Windi, Dian dan Endo, pemula untuk mendaki gunung.

Jadi, selama pendakian, mereka yang mengurus simaksi ke Pos Jaga, dan juga mengarahkan perjalanan selama mendaki. Oia, Guys, setiap kalian mau mendaki, pastikan kalian buat laporan terlebih dahulu ke Pos Jaga, guna untuk keselamatan dan keamanan selama pendakian. Dan juga perlu, kalian harus berangkat dengan orang yangsudah terbiasa ke gunung, atau yang pernah ke gunung yang akan kalian daki.

Setelah beristirahat sejenak di warung dekat gerbang, akhirnya kita memulai pendakian. Aku benar-benar excited!!! Pendakian pertamaku dimulai. Sungguh, dari alam sekitar gerbang saja sudah membuatku terkagum. Selama perjalanan, aku tak lupa untuk mengambil foto. Yah, bagiku, setiap perjalanan yang kita lewati, hanya akan dapat dikenang, alangkah baiknya diabadikan dengan sebuah foto.

Welcome to Papadayan Mountain. Dari kiri ke kanan (Irhas, Endo, Aku, Windi, Asep dan Dian)
Gunung Papandayan
Pendakian pertama!

Kenapa Gunung Papandayan baik untuk pemula, inilah alasannya, selain landai, kondisi pendakian yang sudah bagus. Namun ini hanya kondisi jalan disaat masih sekitaran kaki gunung, tidak sampai ke atasnya. Tak jauh melewati kawah gunung, kita akan menemukan jalan yang tak lagi seperti ini, baru akan menginjak tanah gunung yang lumayan licin karena batu kapur.

gunung papandayan terletak di
Kondisi sekitar kawah

Oia, pendakian ini aku gak pake carrier, berhubung aku gak punya, dan gak sempat untuk membelinya, dan aku berterimakasih pada Endo, sudah mau membawa beberapa perlengkapanku di carriernya. Thank you, and sorry sudah mau direpotkan. Hahah

Dikala aku mulai terasa lelah, aku minta kepada yang lain untuk berhenti sejenak. Saat istirahat, aku tak lupa menanyakan, seberapa jauh lagi pendakian kita. Irhas ataupun Dian menjawab selalu hampir nyampe, hingga tanpa disadari akhirnya kita sampai di tempat pemukiman perkemahan. Di Gunung Papandayan itu sendiri, ada dua tempat pemukiman yang bagus untuk dijadikan mendirikan perkemahan.

Yaitu Pondok Salada dan Ghoberhoet. Waktu itu, Windi dan Irhas yang mengecek lokasi yang di Pondok Salada, aku, Endo, Asep dan Dian, menunggu mereka di Ghoberhoet. Tak lama mereka kembali, akhirnya kita memutuskan untuk mendirikan tenda di Ghoberhoet.

gunung papandayan berapa mdpl
Inilah camping pertamaku di Gunung Papandayan, Guys!

Setelah kita mendirikan tenda, perut kita sudah keroncongan, aku dan windi pun segera memasak bahan yang kita beli di pasar Guntur. Disini kita menyadari bahwa hal penting seperti garam terlupakan.  


Baca juga:

Pesona Negeri Atas Awan, DIENG!!! ( Day 1)

Pesona Bukit Sikunir Yang Terlewatkan & Sejarah Candi Arjuna, Dieng!


Dengan alat masak mini ala anak camping, kita memasak lumpia tahu, dengan menambahkan bumbu mie instan sebagai pengganti garam. Tapi, sayangnya, tetap saja, kalo kata Dian, lumpia tahu rasa original, tahu banget 😀 karena gak ada rasa bumbu ataupun garamnya haha.

Waktu berjalan, hingga malam pun tiba. Untuk makan malam, kita masak cireng dan sisa lumpia tahu. Beberapa mereka ada yang request kopi dan juga masak mie instan. Sambil menghangatkan tubuh di depan api unggun yang dibuat kang Asep.

Tak lama selesai makan, kita memilih masuk ke tenda masing-masing. Mungkin karena lelah mendaki, atau juga karena malam sebelumnya kita hanya tiduran bentar di bus, kita memilih untuk istirahat segera.

Malam itu, ada hal yang bikin aku sampe sekarang ngakak sendirian kalo mengingatnya. Yah, malam di gunung itu sangat dingin, meskipun sudah menggunakan jaket dan sleeping bag, namun dingin masih tetap terasa. Saat aku akan memejamkan mata, tiba-tiba Windi gemetaran. Lucunya, aku kira dia kesurupan -_- (efek sering mendengar cerita kalo di gunung gampang banget orang kesurupan).

Aku sambil berusaha membangunkannya dan suruh dia ber-istighfar, lalu dia bilang dia kedinginan, ternyata dia meriang, Guys! Saking cemasnya, aku panggil-panggil Endo, Endo bilang, mungkin Windi kedinginan, peluk dia.

Aku berniat memasak air panas buat Windi, untuk membuatkannya minuman hangat, saat aku buka sedikit pintu tenda, di luar sana begitu sunyi, rombongan yang di kemah di depan tenda kami pun tampaknya sudah beristirahat. Suasana mencekam dan ternyata mengerikan juga. Hahah. Windi meminta aku tak usah di masak air. Katanya dia gak butuh minum.

Lalu, aku peluk dia. Malam itu, aku merasa lama sekali untuk menuju pagi. Hingga menjelang subuh, akhirnya aku terlelap. Aku dibangunkan untuk shalat. Kulihat di dekat jurang tak jauh dari tenda, banyak orang menantikan terbitnya fajar. Aku tak mau kehilangan moment ini, lalu aku ajak Windi dan Dian. Tak lama, juga disusul oleh Irhas dan Endo. Kang Asep tetap di tenda, untuk menjaga barang-barang agar tidak hilang. 

gunung papandayan mdpl
Sunrise pertamaku di Gunung Papandayan

Setelah menikmati indahnya matahari terbit, kita kembali ke tenda untuk sarapan lalu berbenah untuk mulai menuju destinasi selanjutnya, yaitu Hutan Mati Gunung Papandayan. Sebelum meninggalkan Ghoberhoet, tak lupa untuk berfoto.😂

gunung papandayan dimana
Selamat Tinggal Gubber Hood, kita melangkah untuk pulang!

Dari Ghoberhoet menuju Hutan Mati Gunung Papandayan, kita akan melewati pondok salada. Jalan kesana kita akan bertemu dengan motor yang naik turun. Oia, di Gunung Papandayan sudah dinaiki dengan motor. Dan bahkan sudah ada jalur khusus motor loh, Guys!

gunung papandayan apa yang kalian lihat
Photo by Windi

Kita sempat singgah sebentar di Pondok Salada sebelum akhirnya nyampe di Hutan Mati Gunung Papandayan. Disini lebih banyak yang mendirikan tenda dan lokasinya lebih luas daripada Gubber Hood. Sehari sebelumnya, juga ada acara salah satu stasiun tv disana. Aku lupa nama acaranya. 

jalur pendakian gunung papandayan
I’m here, Pondok Salada!

Dibandingkan dengan Pondok Salada, aku lebih suka suasana di Ghoberhoet, karena tenda yang kita dirikan langsung diantara pepohonan, terasa lebih sejuk dan paginya pun bisa langsung menikmati indahnya matahari terbit. 

Gak terlalu jauh, kita akan bertemu dengan kumpulan bunga Edelweis. Namun, Bunga Edelweis disini tak sebanyak dulu. Karena tak banyak lagi bunga Edelweis. Padahal, sebelumnya kawasan tumbuhnya Bunga Edelweis ini disebut “Si Bunga Abadi” yang Cantik dan Terluas se-Asia Tenggara pada 3 tahun yang lalu. 

gunung papandayan berapa jam
Si Bunga Abadi di Gunung Papandayan

Lalu kita segera menuju ke Hutan Mati Gunung Papandayan yang terbentuk karena  letusan dahsyat kira-kira pada tanggal 11 sampai 12 agustus 1772. Kawasan ini merupakan salah satu bagian eksotis dari Gunung Papandayan. Pemandangan kawah-kawah ataupun Gunung lain yang ada di Garut akan menambah keindahan lokasi ini. 

Hutan Mati Gunung Papandayan

Setelah menikmati dan berswafoto di Hutan Mati, kami memilih untuk segera turun dari gunung. Mengingat akan memakan waktu menuju Jakarta. Jadi, kita turun lebih cepat. Sekitar pukul 12.00 siang, kita sudah sampai dibawah, dan bersiap untuk kembali ke Jakarta.

Yuks, kembali pulang!

Sekian dulu jejak perjalananku mendaki Gunung Papandayan. 

Mendaki gunung bukanlah masalah lelah atau jauhnya perjalanan, namun mendaki gunung mampu memberikan pelajaran yang hanya dapat kamu rasakan dan simpulkan sendiri. Jadi, pelajaran apa yang kamu dapatkan saat mendaki gunung??? 

 

=Big Hug=

#Ovajourney

4 comments
    1. Iya, bisa berkesan baik, dan juga berkesan tidak baik. Namun pengalaman ini membuatku ketagihan ingin lagi dan lagi mendaki gunung. Hihi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like