Hai, Journeyers!

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di cincin api Pasifik, tak pernah lepas dari ancaman bencana alam. Mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, hingga bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.

Selain merenggut nyawa dan harta benda, bencana juga meninggalkan luka mendalam pada lingkungan hidup. Hutan gundul, sungai tercemar, dan lahan kritis adalah pemandangan pasca bencana yang mengancam keseimbangan ekosistem.

Oleh karena itu, upaya mengatasi bencana tidak boleh berhenti pada tahap tanggap darurat, melainkan harus berlanjut pada pemulihan lingkungan secara holistik demi mencapai kembali harmoni alam yang berkelanjutan.

Akar Masalah: Ketidakseimbangan yang Sudah Ada

Upaya mengatasi bencana alam
Foto: ovajourney.com

Banyak bencana, terutama yang terkait dengan air seperti banjir dan tanah longsor, sering kali diperparah oleh kerusakan lingkungan yang sudah terjadi sebelumnya.

Penebangan hutan secara liar mengurangi daerah resapan air, sehingga curah hujan yang tinggi langsung menjadi aliran permukaan yang destruktif. Pembangunan permukiman di bantaran sungai mempersempit aliran air, mengubah sungai menjadi “kanal” yang rentan meluap.

Sementara itu, perilaku membuang sampah sembarangan memperparah kondisi saluran air dan sungai, menjadikannya cepat tersumbat dan menimbulkan banjir. Dalam konteks ini, bencana seolah menjadi cermin yang memantulkan ketidakseimbangan hubungan antara manusia dan alam.

Mitigasi Bencana: Perlindungan Lingkungan adalah Kunci Utama

Langkah pertama dalam mengatasi bencana adalah melalui mitigasi yang berbasis pada pelestarian lingkungan. Mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko dan dampak bencana. Jika bencana hidrometeorologi menjadi ancaman utama, maka penanaman kembali hutan (reboisasi dan penghijauan) adalah prioritas. Pohon bukan hanya penyerap karbon, tetapi juga “penyimpan air” alami yang memperkuat struktur tanah dan mencegah erosi.

Contoh Konkret:

  • Penghijauan dan Reboisasi: Mengembalikan fungsi hutan sebagai daerah resapan air dan pencegah longsor. Program penanaman pohon harus melibatkan masyarakat secara aktif, fokus pada jenis pohon endemik yang sesuai dengan ekosistem setempat.
  • Konservasi Sungai: Larangan keras membangun di sempadan sungai dan melakukan normalisasi sungai dengan prinsip naturalisasi, yaitu mengembalikan bentuk alami sungai agar mampu menampung air dengan lebih baik tanpa merusak ekosistem bantaran.
  • Pembuatan Infrastruktur Hijau: Membangun sumur resapan, biopori, dan danau retensi di area perkotaan untuk meningkatkan daya serap air tanah.

Pemulihan Pasca Bencana: Restorasi Ekosistem

Setelah bencana terjadi, fase rehabilitasi dan rekonstruksi harus mengedepankan aspek restorasi lingkungan. Proses ini bertujuan mengembalikan fungsi ekosistem yang rusak.

  • Rehabilitasi Lahan Kritis: Untuk area yang terdampak tanah longsor atau kerusakan lahan parah, diperlukan teknik penanaman khusus (misalnya dengan metode terasering) dan penggunaan jenis tanaman penutup tanah yang cepat tumbuh untuk mencegah erosi lebih lanjut.
  •  Pengelolaan Sampah dan Limbah Bencana: Bencana menghasilkan puing dan limbah dalam jumlah besar. Pengelolaan limbah ini harus dilakukan secara bertanggung jawab, memilah material yang dapat didaur ulang, dan memastikan limbah berbahaya ditangani sesuai standar untuk mencegah pencemaran air dan tanah.
  • Restorasi Pesisir dan Laut: Bencana seperti tsunami merusak terumbu karang dan hutan bakau. Program penanaman kembali bakau (mangrove) dan transplantasi terumbu karang sangat vital karena ekosistem ini berfungsi sebagai benteng alami terhadap abrasi dan gelombang laut di masa depan.

Pendidikan dan Kebijakan Berkelanjutan

Upaya teknis di lapangan harus didukung oleh perubahan perilaku dan kebijakan yang kuat.

  • Edukasi Ekologi: Masyarakat perlu diedukasi bahwa menjaga lingkungan adalah bagian integral dari mitigasi bencana. Konsep “bertobat ekologi” harus menjadi kesadaran kolektif: bahwa merawat alam bukan sekadar tugas pemerintah, melainkan amanah moral dan spiritual setiap individu.
  • Penegakan Hukum Lingkungan: Kebijakan tata ruang yang tegas dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan, seperti pembalakan liar dan penambangan ilegal, harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tata ruang harus berbasis pada daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Upaya mengatasi bencana agar lingkungan hidup kembali seimbang adalah sebuah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen multi-sektor. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kehidupan yang lebih aman dan berkelanjutan.

Dengan menempatkan pelestarian lingkungan sebagai fondasi utama mitigasi dan pemulihan, kita dapat mengembalikan harmoni alam, memastikan bumi tetap menjadi rumah yang layak huni bagi generasi mendatang, dan mengubah ancaman bencana menjadi momentum untuk membangun kembali hubungan yang lebih apresiatif dengan alam.

Peran DLH Kab. Brebes

Dari semua penjelasan diatas tentunya sudah dapat merincikan peran dan struktur dari DLH Kab. Brebes. Yang bisa menerapkan upaya mengatasi bencana di Kab. Brebes.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like